Wednesday 2 September 2009

Tawaran program akselerasi

Pada saat anak sulung saya mendaftar masuk SMA, karena prestasinya yang baik ia ditawari pihak sekolah untuk ikut program akselerasi dua tahun. Saya menolak tawaran tersebut dan lebih memilih program SI (Sekolah Internasional) yang normal tiga tahun buat anak saya. Hal yang sama sekarang berulang pada anak kedua saya. Alasan saya menolak tawaran di atas adalah karena saya tidak ingin anak saya matang dalam ilmu tapi tidak matang secara kejiwaan/mental.

Saya berpendapat bahwa sekolah bukan saja media untuk menuntut ilmu pengetahuan, tapi juga sebagai media bagi anak saya bersosialisasi dan berekspresi sesuai tahapan usianya. Harapan saya adalah bahwa pada saat anak saya lulus SMA, maka dia memiliki ilmu pengetahuan sesuai kurikulum yang diajarkan serta tingkat kematangan jiwa juga sebagai lulusan SMA. Dan begitu seterusnya hingga ke jenjang-jenjang berikutnya.

Berdasarkan pengalaman saya pribadi dalam bekerja, ataupun berwirausaha, modal kemampuan yang saya butuhkan hanya sebagian saja berasal dari pelajaran/mata kuliah yang saya peroleh. Bekal kemampuan saya dalam relationship dan leadership, serta kemampuan menghadapi kegagalan misalnya, justru saya dapatkan dari berbagai kegiatan di luar pelajaran formal. Dan jangan dilupakan bahwa tantangan yang dihadapi dalam hidup juga bukan hanya masalah karir pekerjaan saja, ada masalah keluarga, dan ada masalah sosial kemasyarakatan.

Ketika masa sekolah dulu, seperti juga anak sulung saya, prestasi saya semasa sekolah juga tidak mengecewakan, setidaknya masih cukuplah kalau sekedar untuk memenuhi persyaratan program akselerasi. Agak narsis ya, tapi fakta ini saya sampaikan hanya dengan maksud untuk menunjukkan bahwa ketidaksukaan saya terhadap program akselerasi bukan didasari rasa cemburu karena tidak mampu. Justru saya merasakan betul bahwa prestasi dan nilai-nilai bagus di sekolah berpotensi menjebak kita hanya fokus ke pelajaran formal dan mengabaikan pelajaran informal yang bisa didapat secara tidak langsung dari berbagai aktifitas lain. Berbagai aktifitas yang sering dianggap hanya membuang-buang waktu, baik aktifitas di lingkungan sekolah atau di luar sekolah, seperti : kegiatan ekstra kurikuler, organisasi, bahkan nongkrong-nongkrong dengan teman.

Kadang saya membayangkan bahwa seorang anak yang kebetulan memiliki otak cerdas, berkali-kali ikut program akselerasi, menghabiskan waktunya untuk fokus ke pelajaran formal, ketika dia lulus perguruan tinggi dalam usia muda maka dia memiliki semua ilmu yang dibutuhkan, namun tidak demikian dengan kematangan jiwanya. Dia tidak akan memiliki ketangguhan menghadapi berbagai problema kehidupan yang kompleks. Ibarat perkakas kerja, dia tidak memiliki perkakas yang cukup lengkap jenisnya menghadapi berbagai kendala yang akan muncul. Beragam perkakas yang seharusnya dia kumpulkan selama menjalani tahapan usianya, ada yang formal melalui kurikulum pelajaran/mata kuliah, ada yang melalui pergaulan, melalui organisasi yang digeluti, dan pengalaman lainnya seiring pertambahan usianya. Program akselerasi yang padat akan banyak menyita waktu dan mengurangi kesempatan berkiprah disana.

Hal-hal di atas inilah yang mendasari cara berfikir saya dan sikap saya terhadap tawaran program akselerasi. Saya sadar, saya tidak akan selalu ada untuk mendampingi anak saya sepanjang hidupnya. Harus saya pastikan ia memiliki bekal ketangguhan cukup untuk menghadapi dunianya. Selain tetap dengan mendekatkan diri kepada Allah, tentunya.

Bagaimana menurut Anda dan pengalaman Anda ?

0 comments: