Saturday 12 September 2009

Main tangan terhadap anak.

Sewaktu istri saya mengatakan bahwa terhadap anak jangan sampai ’main tangan’, cukup sampai sebatas suara keras (marah) saja, saya tidak membantahnya. Anak pertama kami perempuan, dan saya setuju banget untuk tidak sampai memukulnya dalam mendidik. Sikap istri saya ini didasari pengalaman dari orang tuanya yang tidak pernah memukul atau mencubit sewaktu mendidiknya dulu, termasuk kepada adik-adiknya yang lelaki. Dan ini sudah menjadi sakral bagi istri saya untuk diikuti saat mendidik anak-anak kami tanpa perlu dipertanyakan.

Kalau secara prakteknya saya setuju,( sampai sekarang saya belum pernah ’main tangan’ terhadap anak), secara teori saya sebenarnya kurang setuju. Apalagi dua anak kami berikutnya adalah laki-laki dan sudah mulai menginjak remaja. Suatu saat sepertinya saya tidak akan tabu untuk ’main tangan’ bila memang dibutuhkan. Tentu saja ini jauh dari yang disebut kekerasan, karena dilakukan dalam batas kendali untuk pendidikan.

Pemikiran saya ini dilandasi kembali kepada konsep ketangguhan diri. Di luaran dan dalam perjalanan hidupnya kelak saya sudah pasti tidak akan mampu membatasi sikap orang terhadap anak-anak saya. Lingkungan macam apa saja yang akan dijumpainya kelak juga diluar kendali saya tentunya. Apa jadinya jika mental mereka sedemikian rapuh menghadapi kekasaran hanya karena belum pernah menghadapi ”perlakuan kasar” sebelumnya ?

Saya pernah mengikuti program pembinaan mental selama 2 bulan di suatu lembaga sekolah militer sebagai program resmi perusahaan saya. Beberapa sikap kasar (tapi tentunya terkendali) sering diperlihatkan pembina, apakah itu suara bentakan, tendangan ringan di sepatu bila posisi kaki salah, hukuman fisik semacam push up, merayap di tanah, dan sebagainya.

Salah seorang kawan saya satu peleton, sebut saja Agus, mendapat giliran menjadi komandan peleton. Tampil melapor saja sudah membuat dia gemetar, apalagi saat laporannya salah dan mendapat bentakan keras, tambah keringat dingin dia. Saat pembina berpangkat sersan menendang ringan sepatunya karena sikap berdirinya yang kurang benar, tak ayal dia limbung dan semaput. Pada kesempatan istirahat di malam harinya, saya berkesempatan ngobrol dengannya. Kebetulan selama ini dia memang sering curhat pada saya. Tampak sekali bahwa dia kesal dengan kelemahannya. Dia sadar bahwa semua ini hanya latihan, tapi dia selama ini belum pernah sama sekali diperlakukan ’kasar’ secara fisik, bahkan dibentak sekalipun. Kejadian-kejadian di program pembinaan ini benar-benar membuatnya shock.

Banyak contoh lain yang bisa diuraikan tentang kemungkinan perlakuan ’kasar’ yang diterima anak-anak kita, baik yang terprogram maupun tidak. Kita tidak punya kemampuan untuk mengendalikan apa yang akan dan bisa menimpa anak kita. Tapi ada hal yang bisa kita perbuat. Kita bisa memperkuat kemampuan respons anak kita terhadap apa yang menimpanya. Permasalahannya bukan pada ketangguhan fisik menerimanya, karena secara fisik kadang ringan saja, tapi lebih kepada ketangguhan mental. Alasan inilah yang saya sampaikan kepada istri saya.

Saya tidak tahu apakah istri saya bisa menerima karena ia hanya diam. Tapi paling tidak jika suatu saat saya bersikap ’main tangan’ kepada anak-anak, ia tahu alasannya.

Bagaimana menurut Anda ?

Wednesday 9 September 2009

Menjaga Perspektif



Saat bertugas di pulau Sumbawa, saya beserta tim pernah tersesat di kaki sebuah bukit bernama bukit Mata Malam. Satu jam lamanya berputar-putar di semak-semak setinggi kepala. Kami sedang mencari jalan setapak menuju puncak bukit. Alih-alih menemukan jalan ke puncak, keluar dari jebakan semak saja tak bisa kami lakukan. Bak ceritera film, seorang rekan segera mencari pohon yang agak tinggi dan memanjatnya. Dari tempat ketinggian tersebut, akhirnya kami berhasil menemukan jalan setapak ke puncak. Sebenarnya jalan itu tidak jauh dari lokasi kami, hanya terhalang semak tinggi yang cukup rapat. Setelah tahu di seberang semak tersebut terletak jalan yang kami cari, kami tak ragu lagi menerobosnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, adakalanya saya kehilangan perspektif terhadap permasalahan, akibat terlalu dalam terlibat secara fisik dan emosional. Pada saat seperti itu, biasanya saya terbantu oleh ingatan terhadap kisah di bukit Mata Malam di atas. Sebagai ganti memanjat pohon, saya segera menjaga jarak dengan permasalahan. Saya membayangkan tubuh saya mengapung, selanjutnya dari ketinggian saya ’amati’ dan evaluasi permasalahannya dengan lebih tenang dan lebih jujur.

Di dalam perusahaan, masalah perspektif ini umumnya sudah diakomodir oleh hirarki organisasi. Semakin tinggi jabatan seseorang dalam organisasi maka bidang tugasnya semakin general. Ibarat memandang lukisan di dinding, seorang supervisor berdiri lebih dekat ke dinding dan dia lebih tahu detail lukisan tersebut. Karena dekatnya, kelemahannya adalah dia sulit melihat batas-batas dari bingkai lukisan. Sedangkan seorang manajer berdiri lebih jauh, bingkai lukisan dan posisi relatif lukisan terhadap benda lain di dinding bisa diketahui, namun detil lukisan tak nampak jelas.

Meski sudah diatur sedemikian rupa, adakalanya seorang pimpinan memerlukan kemampuan memainkan perspektif ini. Kapan dia harus mendekat dan kapan dia harus menjauh dari lukisan.

Permainan perspektif ini terbukti banyak membantu dalam penyelesaian suatu masalah, setidaknya untuk saya. Bagaimana dengan Anda ?

Thursday 3 September 2009

Ironi di bulan ramadhan.

Bulan ramadhan adalah bulan dimana kita diuji untuk banyak menahan diri dari godaan hawa nafsu. Yang paling ringan, ya nafsu makan-minum. Namun di kota saya, berbagai indikasi selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa di bulan ini justru saat orang mengumbar hawa nafsu makan-minum tersebut. Kok bisa ?

Faktanya, bulan ramadhan adalah bulan panen bagi para penjual makanan. Keramaiannya meningkat sekian ratus prosen, setidaknya itulah yang tampak mata dan sesuai info dari beberapa pedagang yang saya wawancarai. Jalan-jalan yang biasanya lancar dilalui, sekarang menjadi padat dipenuhi pedagang kaki lima. Begitu juga taman-taman kota dan area di sekitar mesjid besar.
Belanja rumah tangga meningkat, khususnya untuk jenis pengeluaran makan-minum. Dan segera akan disambung dengan pengeluaran untuk sandang di saat mendekati lebaran. Bukan hanya keluarga berkecukupan, keluarga biasa-biasa saja juga mengupayakan adanya dana ekstra untuk semua keperluan ini. Percaya enggak, jualan speedy aja ikut seret. Sebagian menunda pasang karena dananya dialokasikan untuk biaya selama bulan puasa.
Makanan yang tidak menjadi menu rutin pada bulan-bulan lain, bermunculan di bulan ini. Sebut saja : kolak, kurma, es buah, dsbnya. Lauk-pauk pun relatif lebih istimewa di bulan puasa. Sedangkan pengeluaran yang biasa juga tidak menurun karena makan tetap dua kali sehari, bahkan ada yang tiga kali sehari, saat berbuka, sehabis tarawih, dan saat sahur. Wow..!

Manfaat positif yang terasa adalah terjadinya peningkatan gerak ekonomi masyarakat, omzet usaha meningkat karena permintaan pasar meningkat (ceile...kayak ekonom aja).
Yang terasa kurang pas bagi saya adalah hilangnya makna ibadah puasa, bahkan di level yang sebenarnya paling ringan : menahan diri dari godaan nafsu makan-minum.

Bagaimana menurut Anda ?


Wednesday 2 September 2009

Tawaran program akselerasi

Pada saat anak sulung saya mendaftar masuk SMA, karena prestasinya yang baik ia ditawari pihak sekolah untuk ikut program akselerasi dua tahun. Saya menolak tawaran tersebut dan lebih memilih program SI (Sekolah Internasional) yang normal tiga tahun buat anak saya. Hal yang sama sekarang berulang pada anak kedua saya. Alasan saya menolak tawaran di atas adalah karena saya tidak ingin anak saya matang dalam ilmu tapi tidak matang secara kejiwaan/mental.

Saya berpendapat bahwa sekolah bukan saja media untuk menuntut ilmu pengetahuan, tapi juga sebagai media bagi anak saya bersosialisasi dan berekspresi sesuai tahapan usianya. Harapan saya adalah bahwa pada saat anak saya lulus SMA, maka dia memiliki ilmu pengetahuan sesuai kurikulum yang diajarkan serta tingkat kematangan jiwa juga sebagai lulusan SMA. Dan begitu seterusnya hingga ke jenjang-jenjang berikutnya.

Berdasarkan pengalaman saya pribadi dalam bekerja, ataupun berwirausaha, modal kemampuan yang saya butuhkan hanya sebagian saja berasal dari pelajaran/mata kuliah yang saya peroleh. Bekal kemampuan saya dalam relationship dan leadership, serta kemampuan menghadapi kegagalan misalnya, justru saya dapatkan dari berbagai kegiatan di luar pelajaran formal. Dan jangan dilupakan bahwa tantangan yang dihadapi dalam hidup juga bukan hanya masalah karir pekerjaan saja, ada masalah keluarga, dan ada masalah sosial kemasyarakatan.

Ketika masa sekolah dulu, seperti juga anak sulung saya, prestasi saya semasa sekolah juga tidak mengecewakan, setidaknya masih cukuplah kalau sekedar untuk memenuhi persyaratan program akselerasi. Agak narsis ya, tapi fakta ini saya sampaikan hanya dengan maksud untuk menunjukkan bahwa ketidaksukaan saya terhadap program akselerasi bukan didasari rasa cemburu karena tidak mampu. Justru saya merasakan betul bahwa prestasi dan nilai-nilai bagus di sekolah berpotensi menjebak kita hanya fokus ke pelajaran formal dan mengabaikan pelajaran informal yang bisa didapat secara tidak langsung dari berbagai aktifitas lain. Berbagai aktifitas yang sering dianggap hanya membuang-buang waktu, baik aktifitas di lingkungan sekolah atau di luar sekolah, seperti : kegiatan ekstra kurikuler, organisasi, bahkan nongkrong-nongkrong dengan teman.

Kadang saya membayangkan bahwa seorang anak yang kebetulan memiliki otak cerdas, berkali-kali ikut program akselerasi, menghabiskan waktunya untuk fokus ke pelajaran formal, ketika dia lulus perguruan tinggi dalam usia muda maka dia memiliki semua ilmu yang dibutuhkan, namun tidak demikian dengan kematangan jiwanya. Dia tidak akan memiliki ketangguhan menghadapi berbagai problema kehidupan yang kompleks. Ibarat perkakas kerja, dia tidak memiliki perkakas yang cukup lengkap jenisnya menghadapi berbagai kendala yang akan muncul. Beragam perkakas yang seharusnya dia kumpulkan selama menjalani tahapan usianya, ada yang formal melalui kurikulum pelajaran/mata kuliah, ada yang melalui pergaulan, melalui organisasi yang digeluti, dan pengalaman lainnya seiring pertambahan usianya. Program akselerasi yang padat akan banyak menyita waktu dan mengurangi kesempatan berkiprah disana.

Hal-hal di atas inilah yang mendasari cara berfikir saya dan sikap saya terhadap tawaran program akselerasi. Saya sadar, saya tidak akan selalu ada untuk mendampingi anak saya sepanjang hidupnya. Harus saya pastikan ia memiliki bekal ketangguhan cukup untuk menghadapi dunianya. Selain tetap dengan mendekatkan diri kepada Allah, tentunya.

Bagaimana menurut Anda dan pengalaman Anda ?